
Jakarta – Klikternak. Di tengah guyuran hujan deras yang mengguyur Lereng Gunung Merapi, Yogyakarta, kesetiaan para peternak sapi perah tak pernah surut. Mereka adalah tulang punggung produksi susu nasional, meski produksi susu sapi lokal baru memenuhi sekitar 20% kebutuhan dalam negeri. Di tengah berbagai tantangan, mereka terus berjuang meningkatkan produktivitas, berharap susu yang dihasilkan bisa menjadi bagian dari program Makan Bergizi Gratis.
Meskipun hujan deras mengguyur pada sore hari itu, tak menghalangi langkah para peternak susu di Lereng Gunung Merapi, DI Yogyakarta. Dengan mengenakan sepatu bot dan jas hujan, mereka bergegas membawa wadah susu (milkcan) ke Tempat Penampungan Susu (TPS) Kelompok Boyong Sejahtera di Boyong Hargobinangun, Pakem, Sleman. Langkah mereka tergesa-gesa karena susu segar hanya bertahan dua jam di suhu ruang. Setibanya di TPS Boyong, wadah susu segera dibuka, dan petugas dengan sigap mengetes kadar alkohol untuk memastikan kualitas susu.
Pengujian kualitas susu tak berhenti di TPS. Saat susu dibawa ke unit pendingin (cooling unit), uji kualitas kembali dilakukan untuk mendeteksi residu antibiotik, yang bisa membuat susu ditolak pabrik. Susu dari 250 peternak sapi perah dari 13 kelompok yang tergabung dalam Koperasi Samesta disimpan di unit pendingin bersuhu maksimal 2 derajat Celsius. Pagi-pagi benar, susu dipindahkan ke tangki truk berkapasitas 5.000 liter dan dikirim ke pabrik PT Sarihusada Generasi Mahardhika (SGM), bagian dari Danone Specialized Nutrition.
Kelik Setyawan, Cycles and Procurement Supervisor Farmer Development PT SGM, mengungkapkan, “Hampir semua susu diterima pabrik. Kami rutin mengadakan penyuluhan dan sarasehan setiap 40 hari sekali. Jadi, peternak tahu, insya Allah 99,9 persen susu yang dikirim ke TPS akan diterima.”, dikutip dari harian.kompas.com.
Prioritaskan Kebutuhan Sapi Demi Kualitas Susu
Dalam keseharian, para peternak susu memprioritaskan kebutuhan sapi perah demi mendongkrak produksi dan kualitas susu. Mereka wajib memerah sapi dua kali sehari, pagi dan sore, dengan jadwal yang sama agar produksi susu stabil. Rutinitas ini membuat mereka tak mengenal cuti atau libur, bahkan saat Lebaran pun harus tetap memerah susu.
Mbah Kidi (70), seorang peternak di Lereng Merapi, Pakem, telah setia menjalani hidup sebagai peternak. Dia menghabiskan hari-harinya di kandang sapi komunal Koperasi Samesta, merawat 14 sapi, yang tujuh di antaranya sedang memproduksi susu. Meskipun sempat kehilangan tujuh sapinya saat erupsi Gunung Merapi 2011, Mbah Kidi kembali beternak dan berhasil menyekolahkan keempat anaknya hingga menikah dan membangun rumah.
“Usia saya sudah tua, tetapi anak-anak saya tidak mampu mengurus sapi. Mereka punya usaha lain. Berhubung sudah tua, ya, ini hanya sekadar kegiatan saja,” ujar Mbah Kidi, yang mencintai pekerjaannya sebagai peternak sapi perah. Dia bahkan mencoba beternak sapi jenis jersey, yang mulai dikenalkan di Indonesia pada 2021.
Sapi jersey, berwarna merah kecoklatan, memang belum banyak dipelihara peternak. Mayoritas masih memelihara friesian holstein dengan ciri khas kulit belang hitam putih. Arif Wahyudin, Senior Manager Public Affairs & Sustainability Danone Indonesia, menjelaskan bahwa PT SGM turut mengenalkan sapi jersey yang lebih tahan cuaca dan penyakit. Meskipun produksi susunya cenderung lebih rendah (12 liter per ekor per hari dibandingkan 15 liter pada friesian holstein), kualitasnya lebih baik dengan kandungan protein dan lemak yang lebih tinggi.
Teknologi dan Pakan Berkualitas Dongkrak Produktivitas
PT SGM tak hanya membeli susu dari peternak, tetapi juga berupaya mendongkrak kualitas susu dengan memperkenalkan teknologi terbaru, seperti mesin pemerahan sapi, alat air minum otomatis, dan fermentasi pakan silase. Silase, berupa hijauan yang diawetkan melalui fermentasi, disukai ternak, awet hingga satu tahun, dan menjadi solusi keterbatasan lahan pakan.
Ruslan, Ketua Koperasi Samesta, menyebut bahwa silase menggunakan bahan baku hijauan tanaman jagung dengan protein tinggi. Uji coba konsumsi silase menunjukkan peningkatan volume susu hingga 2 liter per sapi, serta peningkatan kadar protein, lemak, dan total solid.
Saat ini, rata-rata kepemilikan sapi peternak rakyat adalah tiga ekor. Produktivitas sapi mencapai puncaknya pada laktasi ketiga (usia 5-6 tahun), lalu menurun setelahnya. Namun, peternak masih mempertahankan sapi hingga usia 7-10 tahun.
Jenarwan, seorang peternak sapi perah di Desa Jemowo, Boyolali, sangat berhati-hati dalam memperlakukan sapi perahnya. Indukan sapi yang sedang laktasi tak boleh stres saat diperah. Dia mulai beternak sapi pada 2014 dengan kredit dua ekor sapi dari Koperasi Puspetasari dan kini memiliki 15 ekor. Selain kualitas pakan, Jenarwan juga sangat memperhatikan asupan air, terutama saat musim kemarau.
Tumino, peternak lainnya, berupaya mendongkrak produksi susu dengan hijauan gama umami yang bisa dipanen setiap dua bulan dan tumbuh subur di daerah sulit air.
Untuk menjual susu, peternak di Jemowo menunggu mobil pengangkut susu dari Koperasi Puspetasari. Mangesti, Supervisor Livestok & Fresh Milk Puspetasari, menyebut bahwa koperasi juga memberikan bantuan, seperti pengobatan gratis saat wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) pada 2022, subsidi ongkos inseminasi buatan (IB), dan fasilitas kredit untuk instalasi pengolahan kotoran sapi menjadi biogas.
Edi Raharja, Direktur Operasional 2 Koperasi Puspetasari, mengatakan bahwa koperasi menaungi 63 peternak dengan total populasi 460 sapi, yang 370 di antaranya memproduksi susu. Koperasi ini mengirim 3.900 liter susu sapi per hari ke Sarihusada, dan sisanya dilepas ke konsumen lain.
Merangkul Peternak Lokal untuk Kemajuan Bersama
Ratih Anggraeni, Head of Climate and Water Stewardship Danone Indonesia, mengungkapkan bahwa 18% kebutuhan susu di Sarihusada dipenuhi dari peternak lokal, sisanya dari susu impor. PT SGM tidak memiliki peternakan sendiri dan lebih banyak bekerja sama dengan koperasi susu dan peternak sapi perah rakyat.
Menurut Ratih, produktivitas susu di Indonesia relatif masih rendah. Mayoritas peternak memelihara sapi friesian holstein dengan produktivitas rata-rata 12 liter per ekor per hari. Saat wabah PMK, produksi susu sapi turun 30% menjadi hanya 9 liter per ekor per hari.
Epi Taufik, Tim Ahli Kementerian Pertanian dan Guru Besar Fakultas Peternakan Bogor University, menegaskan bahwa produksi susu nasional memang belum bisa memenuhi kebutuhan nasional. Padahal, di era Presiden Soeharto, produksi susu segar dalam negeri mampu memenuhi 40% kebutuhan nasional.
Seiring pertumbuhan penduduk dan kesadaran gizi masyarakat, permintaan susu naik 6% per tahun, tetapi produksi susu segar hanya naik 1%. Untuk mendongkrak produksi susu nasional, Epi menegaskan bahwa populasi ternak sapi perah harus ditambah, dan pemerintah bisa memberikan kemudahan, antara lain dari fiskal pajak atau importasi.
Agung Suganda, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, menyebut beberapa faktor yang memengaruhi rendahnya produksi susu dalam negeri, antara lain populasi sapi perah yang terbatas, produktivitas individu sapi perah yang rendah, serta sistem manajemen pakan yang masih sederhana dan kurang optimal.
Menurut Agung, pemerintah telah melakukan berbagai langkah strategis guna meningkatkan produksi susu segar dalam negeri, seperti menyusun Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Produksi Susu dan Daging Nasional (P2SDN) dan mewajibkan industri pengolahan susu (IPS) untuk menyerap susu segar lokal.
Masih banyak pekerjaan rumah terkait produksi susu nasional yang diharapkan bisa diselesaikan para pemangku kepentingan. Dengan demikian, para peternak sapi perah bisa lebih sejahtera, dan kebutuhan susu nasional segera terpenuhi. (Klikternak)
Baca Klik Ternak di Google News
Bergabunglah dengan kami di Kanal WhatsApp